Senin, 23 Juli 2012

Apa sih penyebab Utama Demo Pekerja ...


Apa sih Penyebab Utama Demo Pekerja? Perusahaan sebagai sebuah organisasi merupakan tempat dimana ada dua orang atau lebih bekerja bersama untuk mencapai tujuan. Terwujudnya pencapaian sebuah tujuan diperlukan berbagai kegiatan dan untuk melaksanakan kegiatan itu perlu adanya sumber daya, seperti sumber daya keuangan, fisik, teknologi dan sumber daya manusia. Semua perusahaan mengetahui bahwa salah satu sumber daya yang paling penting dalam menentukan sukses dan tidaknya tujuan perusahaan adalah fungsi sumber daya manusia (SDM).

Masih banyaknya demonstrasi pekerja atau buruh di berbagai wilayah Indonesia menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam pengelolaan SDM. Sering terjadi aksi demo, dikarenakan adanya ketidaknyamanan dalam bekerja, upah yang minim dan juga ketidakpuasan dalam bekerja. Dalam sebuah jurnal dari Community Mental Health Journal oleh Ranz, J. (2001) bila kepuasan kerja diabaikan, maka dampaknya dapat mengganggu performa kerja, seperti kebosanan, malas, gangguan fisik, kecemasan, depresi, dan perilaku kontraproduktif.

Penelitian Muhaimin (2004) dalam Jurnal Psyche, menunjukkan ciri perilaku pekerja yang puas adalah mereka mempunyai motivasi untuk berkerja yang tinggi, mereka lebih senang dalam melakukan pekerjaannya, sedangkan ciri pekerja yang kurang puas adalah mereka yang malas berangkat ke tempat bekerja dan malas dengan pekerjaan dan tidak puas.

Membangun kepuasan kerja karyawan bukan sebuah tugas yang mudah dilakukan bagi pihak manajemen. Mereka harus tahu apa saja indikator kepuasan atau ketidakpuasan kerja yang ditunjukkan oleh pekerja. Dalam prakteknya untuk mencapai tujuan tersebut organisasi kurang memperhatikan ada tidaknya perasaan puas dan tidak puas dari para pekerjanya.

Kepuasan kerja sudah bukan lagi asal terpenuhinya faktor seperti gaji. Saat ini kepuasan kerja baiknya dilihat dari unsur psikologis. Mengapa? misalnya, dua pekerja dengan pekerjaan dan gaji yang sama mungkin akan memiliki pendapat atau reaksi yang berbeda atas apa yang mereka peroleh dan mungkin juga akan berbeda tingkatan kepuasan kerja mereka.

Penerapan Disiplin Efektif oleh Atasan Pria ...


Penerapan Disiplin Efektif oleh Atasan Pria, Psikologi Zone – Efektifitas seorang atasan dalam melakukan tugas-tugas manajerial menjadi sangat penting untuk operasional perusahaan. Dalam sebuah jurnal yang berjudul Effective delivery of workplace discipline: Do women have to be more participatory than Men, oleh Joan F.B, Leanne E.A, dan David A.W. (2005), menujukan baik manajer pria maupun wanita memiliki derajat keefektifan yang sama dalam hal performance, motivation of the leader and employees, manajerial ability, employee dan group level productivity.

Perlu juga diperhatikan, tidak semua tugas manajerial efektif dilakukan oleh atasan pria maupun wanita. Manajer pria dan wanita memiliki perbedaan dalam strengths dan weaknesses untuk mencapai efektifitas tugas manajerial. Strengths dan weaknesses dapat terjadi karena faktor biologi atau perbedaan peran sosial.

Terdapat berbagai macam tugas manajerial dalam mengelola sebuah perusahaan, termasuk mendukung terwujudnya kedisiplinan para pekerja. Proses ini meliputi pengarahan dan mempengaruhi perilaku pekerja dalam menentukan, mana perilaku yang benar dan mana perilaku yang mendukung performa kerja. Bila proses ini terhambat, tentu akan mempengaruhi jalannya sebuah organisasi.

Bukan hanya manajer yang membawahi beberapa pekerja dan mengemban tugas manajerial, ini juga dilakukan oleh seorang supervisor. Supervisor memiliki kebijaksanaan dalam menentukan masalah mana yang memerlukan tindakan disiplin dan apa tindakan yang tepat dalam meresponnya.

Diungkapkan oleh Leanne E.A, James A.C, dan David A.W. (2000) dalam Journal of management, volume 27, penerapan disiplin akan efektif bila diemban oleh atasan pria dibandingkan oleh wanita. Sex role stereotypes dan peran sosial memiliki perbedaan dalam melihat pria dan wanita. Dimana wanita dianggap tidak unggul dalam penerapan administering discipline dibandingkan pria.

Kebanyakan orang percaya bahwa perilaku wanita diharapkan untuk bersikap lembut, sensitif, pasif dan suportif. Mereka akan menderita dan kurang efektif bila melakukan penerapan kedisiplinan pada pekerja dibandingkan pria.

Penerapan disiplin oleh atasan merupakan tugas yang membutuhkan karakteristik masculine. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Joan, dkk., pada 263 undergraduate business students menunjukkan bahwa, sekitar 85% responden mengatakan penerapan kedisiplinan oleh atasan cocok bagi mereka yang memiliki karakteristik masculine oriented. Sebesar 86% responden mengatakan penerapan hukuman juga membutuhkan karakteristik masculine oriented. Gender stereotype menunjukkan peran masculine oriented terjadi pada pria dengan feminine oriented pada wanita.

Namun, apakah ini terjadi dalam masyarakat kita? Munculnya penolakan gender stereotype antara peran masculine oriented pada pria dengan feminine oriented pada wanita, dimana penerapan kedisiplinan pada tugas atasan tidak hanya bisa dilakukan oleh atasan pria, yang menurut gender stereotype memiliki karakteristik masculine oriented, namun juga atasan wanita.

Sebuah penelitian oleh Supriyadi (2005) dalam jurnal Humaniora volume 17, 195-203 memberikan pandangan pada isu androgini yang saat ini berkembang, dimana batas karakter masculine dan feminine melebur tidak jelas. Sudah banyak munculnya kesadaran kaum wanita yang menganut pandangan androgini dalam gerakan mereka, seperti feminisme atau kesetaraan gender.

Sabtu, 21 Juli 2012

Kecerdasan Anak Berasal dari Orangtua ...

Kecerdasan Anak Berasal dari Orangtua. Sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris dan Skotlandia menyimpulkan orangtua mewariskan setengah kecerdasan pada anak. Inilah salah satu evolusi manusia yang luar biasa.

Orang tua mana yang tidak mengharapkan anaknya cerdas dan pintar? Hampir semua orang tua mengharapkan hal tersebut. Namun sadarkah para orang tua bahwa kecerdasan yang dimiliki anaknya juga berasal dari orang tuanya?

Penelitian yang ini merupakan hasil yang diperoleh dari 3.500 responden yang tinggal di Inggris dan Skotlandia. Para responden dianaliss untuk diselidiki setengah juta penanda genetik dan perubahan kecil yang terjadi pada DNA-nya. Peneliti juga memeriksa hasil penelitia dan tes kecerdasan, serta dilengkapi dengan data pendidikan para responden.

Penelitian ini menunjukkan bahwa 40 persen kecerdasan yang dimiliki anak termasuk jenis kecerdasan kristal, atau dikenal dengan istilah ilmiahnya crystallised-type intelligence. Kecerdasan kristal ini yakni kemampuan memperoleh pengetahuan dan keterampilan selama bertahun-tahun yang tersimpan dalam gen manusia.

Jenis kecerdasan lainnya yakni kecerdasan cair atau fluid-type intelligence. Kecerdasan cair ini yakni kemampuan bernalar dan berpikir abstrak yang bekerja dibawah tekanan perintah dari gen. Penelitian yang dipublikasikan melalui The Journal Molecular Psychiatry menyimpulkan bahwa, ada 51 persen kemampuan berpikir ‘outside the box’ (kemampuan berpikir keluar dari aturan) manusia, berada di bawah kekekuasaan gen.

Sebelumnya ada penelitian dari Peter Visscher yang bekerja di Queensland Institute of Medical Research, Australia. Penelitian Peter Visscher ini menghasilkan jawaban bahwa, banyak gen yang ikut peran pada kecerdasan anak.

Kepala penelitian Profesor Ian Deary dari University of Edinburgh menyebutkan banyak faktor yang terlibat dalam kecerdasan anak. Perbedaan pada kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu berkaitan sekali dengan faktor-faktor kehidupan. Misalnya berhubungan dengan pendidikan, pekerjaan, penghasilan, kesehatan dan faktor usia.

Walau pun begitu, Deary menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukannya secara tegas menyatakan sebagian besar perbedaan tingkat kecerdasan pada masing-masing individu lebih karena variasi genetik.

Keterbatasan materi tidak selalu menjadi pembatas tingkat intelektualitas seseorang. Boleh jadi kecerdasan yang dimilikinya merupakan hasil warisan dari kecerdasan orang tuanya. Penelitian ini juga menunjukkan perbedaan kecerdasan manusia dan simpanse, meski secara genetik sama.

Mengajari Anak Cara Berterima Kasih ...

Setiap orangtua tentu menginginkan agar anak memiliki sopan santun, baik di lingkungan keluarga, lebih-lebih di lingkungan sosial lain. Sopan santun sudah semestinya diajarkan sejak dini agar menjadi kebiasaan bagi si kecil. Salah satu bentuk sopan santun yang sederhana adalah adalah mengucapkan terima kasih.

Meski mudah, bagi sebagian anak zaman sekarang, kata-kata ini tak jarang sulit diucapkan. Kata-kata ini dianggap biasa dan disaat yang sama diremehkan. Padahal, ucapan terima kasih punya arti dan makna mendalam.

Berikut ini beberapa cara yang bisa dicoba untuk mendidik si kecil agar tak segan berterima kasih:

1. Beri teladan. Si anak adalah peniru ulung. Maka, berikanlah teladan baik kepada anak-anak. Sebuah penelitian menyatakan bahwa anak-anak meniru setidaknya 25 persen perkataan orang yang sering didengar oleh mereka. Biasakanlah anak mendengar kata “tolong” dan “terima kasih” setiap hari pada berbagai keadaan.

2. Jelaskan. Sebagian besar anak-anak hanya kenal mengucapkan “terima kasih” sebagai formalitas setelah diberi bantuan. Sebaiknya, berilah pengertian kepada si kecil arti kata-kata tersebut dan dampak bagi orang yang mendengar.

3. Gambarkan perasaan Si Pendengar. Ajak anak untuk memposisikan diri dan ikut memahami beragam perasaan jika mendengar ucapan yang terlontar.

4. Ekspresikan rasa syukur. Jelaskanlah kepada anak, bahwa dengan berterima kasih, anak-anak secara tidak langsung juga telah mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan. ^_^

Pentingnya Kepuasan Kerja Karyawan ...

Keberadaan sumber daya manusia dalam sebuah perusahaan sangat penting karena mereka yang memprakarsai terbentuknya organisasi, mereka yang berperan membuat keputusan untuk semua fungsi dan mereka juga yang berperan dalam menentukan kelangsungan hidup perusahaan.

Dalam sebuah buku Manajemen Sumber Daya Manusia yang ditulis oleh Panggabean (2004), kompetensi seorang karyawan bukan satu-satunya aspek yang harus diperhatikan. Masih ada sikap kerja yang juga membuat mereka mau dan bersedia memberikan sebagian tenaga untuk perusahaan. sikap kerja merupakan hasil penilaian atau evaluasi terhadap orang-orang, kejadian-kejadian di tempat kerja.

Salah satu konsep yang paling sering diperhatikan adalah kepuasan kerja. Berbagai macam perlakuan yang diberikan pada karyawan atau pekerja hanya akan efektif bila mereka merasa puas pada pekerjaannya. Kepuasan dalam pekerjaan dapat mereka rasakan apabila mereka merasakan adanya keselarasan antara apa yang diharapkan dengan apa yang dapat diperoleh, atau antara kebutuhan dan penghargaan.

Spector (1997) dalam bukunya Job Satisfaction: Application, Assessment, Causes, and Consequences, kepuasan kerja adalah perasaan seseorang terhadap pekerjaan mereka dan perbedaan aspek pada pekerjaannya. Ini lebih pada apakah orang tersebut suka atau tidak suka pada pekerjaanya. Dalam pengukuran umum, kepuasan kerja adalah variabel sikap. Pada beberapa waktu lalu pemahaman kepuasan kerja lebih pada asas kebutuhan, misalnya gaji sebagai bentuk pemenuhan atas kebutuhan dasar secara fisik. Pada saat ini banyak pendekatan yang lebih fokus pada perhatian proses kognitif dibandingkan pada asas kebutuhan. Perspektif sikap telah menjadi salah satu yang mendominasi pemahaman tentang kepuasan kerja.

Sebuah malapetaka bila kepuasan kerja diabaikan oleh pihak manajemen, maka dampaknya dapat mengganggu performa kerja, seperti kebosanan, malas, gangguan fisik, kecemasan, depresi, dan perilaku kontraproduktif. Hal ini diketahui melalui sebuah penelitian oleh Ranz, Stueve dan McQuistion (2001) dalam jurnalnya yang berjudul The Role of the Psychiatrist: Job Satisfaction of Medical Directors and Staff Psychiatrists.

Pertanyaan yang penting adalah bagaimana menciptakan kepuasan kerja? Menurut Saba (2011) dalam jurnal International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, kepuasan kerja dapat terjadi dalam sebuah iklim yang sehat dan positif. Iklim yang positif tidak hanya meningkatkan kepuasan kerja tetapi juga produktifitas kerja. Perlu digarisbawahi bahwa manager, human resource specialists, supervisor dan pekerja harus mampu mengeksplorasi bagaimana kepuasan kerja dapat ditingkatkan. Salah satu aspek meningkatkan kepuasan kerja bukan hanya soal uang, namun kondisi tempat karyawan bekerja juga menentukan kepuasan mereka.

Rabu, 18 Juli 2012

Gerakan Mata Bukan Indikator Seseorang Bohong Atau Tidak ^_^

Banyak orang mengira kebohongan mudah diketahui hanya dengan melihat gerakan bola mata. Pasalnya gerakan mata seseorang juga dapat dimanipulasi oleh diri mereka sendiri.
Sebuah penelitian telah dilakukan oleh peneliti kebangsaan Inggris dan Kanada mengatakan, tidak ada hubungan antara gerakan bola mata ke kanan dan ke atas dengan tanda-tanda seseorang sedang berbohong.

Begitu juga sebaliknya, gerakan bola mata ke kiri dan ke atas sebagai tanda seseorang jujur tidak terbukti.

Psikolog dari Universitas Edinburgh, Caroline Watt, PhD yang menjadi peneliti dalam studi ini mengatakan, “Sebagian besar masyarakat percaya bahwa gerakan mata tertentu adalah tanda berbohong, dan ide ini bahkan diajarkan di kursus pelatihan organisasi,” ungkap Watt.

Ia menambahkan, penelitian mereka bukan memberikan dukungan dan sebagainya, penelitian ini justru memberikan petunjuk untuk kembali melihat kebenaran dari deteksi semacam ini.

Penelitian ini dilakukan dalam tiga bagian, studi pertama dengan 32 partisipasi yang mayoritas adalah mahasiswa. Mereka diperintahkan untuk menyembunyikan ponsel di tempat tertentu. Masing-masing di wawancara untuk mengetahui siapa yang berkata jujur dan tidak.

Setiap peserta akan direkam untuk mengetahui gerakan bola mata dan tatapan mereka saat diwawancara.

Hasilnya, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara gerakan bola mata mereka dengan kebenaran atau kebohongan yang diungkapkan.

Namun, gerakan tersebut tidak bisa diketahui hanya dari hitungan gerakan bola mata, mungkin butuh seseorang yang sangat terlatih untuk melihat gerakan halus.

Hal yang sama terbukti melalui penelitian ke dua, pada studi ini para peneliti menunjuk 50 orang untuk dilatih membaca gerakan bola mata. Mereka ditunjukkan pada sebuah video pada penelitian pertama untuk mendeteksi kebohongan.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan, gerakan mata tidak dapat menjadi acuan seseorang itu berbohong atau tidak.

“Hasil penelitian ini menjelaskan alasan yang cukup bahwa gerakan bola mata adalah indikator yang buruk untuk deteksi kebohongan,” kata Watt.

Bayi Pun Mengerti Konsep Keadilan ...


“Itu tidak adil!” Mungkin ini adalah kalimat keluhan anak-anak. Bagaimana awalnya anak-anak dapat merasakan keadilan? Sebuah hasil penelitian baru telah menjawab pertanyaan ini.

“Kami menemukan bahwa usia 19 dan 21 bulan, bayi sudah memiliki harapan umum dari konsep keadilan, dan mereka dapat menerapkannya dengan tepat dalam situasi yang berbeda,” kata Stephanie Sloane, mahasiswa pascasarjana psikologi dari University of Illinois, dikutip dari Science Daily.

Penelitian ini dilakukan oleh Sloane melakukan penelitian bersama dengan Renée Baillargeon dan David Premack dari University of Pennsylvania, dipublikasikan oleh jurnal Psychological Science dari Association for Psychological Science.

Penelitian ini melakukan uji eksperimen pada empat bayi usia 19 bulan. Peneliti kemudian membawa kereta mainan dan berkata, “Saya punya mainan! Yay!”. Kemudian ia memberikan semua mainan tersebut pada satu bayi. Tiga bayi lainnya menunjukkan bahwa ada sesuatu yang aneh. Mereka melihat ke arah satu bayi yang mendapatkan mainan dengan sangat lama hingga kemudian mereka kehilangan minat.

Ekpersimen kedua dilakukan pada dua bayi perempuan usia 21 bulan. Mereka dihadapkan dengan dua keranjang dan mainan yang berserakan. Peneliti kemudian hadir dan berkata “Wow Lihatlah semua mainan! Sudah waktunya untuk membersihkan mereka.” Salah satu dari bayi tersebut kemudian memasukkan mainan ke dalam keranjang dan satu lagi tetap asyik bermain.

Peneliti kemudian memberikan hadiah pada masing-masing bayi, baik yang membersihkan maupun yang tetap bermain. Dalam skenario selanjutnya, ketika mereka berdua disuruh membersikan mainan, kedua bayi tersebut langsung mengambil hadiah tanpa ada yang membersihkan.

“Kami berpikir anak-anak dilahirkan dengan kerangka harapan umum tentang keadilan,” jelas Sloane.

Penerapan dan konsep keadilan sangat tergantung pada budaya dan lingkungan dimana bayi mereka dibesarkan. Beberapa budaya sangat menjunjung tinggi konsep berbagi lebih dari budaya lain, tetapi konsep dasar bahwa keadilan harus merata dan dialokasikan sesuai dengan usaha adalah bawaan dan universal. Hal ini diungkapkan oleh Sloane lebih lanjut.

Selain keadilan, penelitian telah menunjukkan pada kita bahwa anak-anak kecil juga memiliki harapan untuk tidak merugikan orang lain dan membantu orang lain dalam kesulitan.

Senin, 16 Juli 2012

Bagaimana Otak Bereaksi Pada Kesalahan Dan Semua Tergantung Pola Pikir Anda ...

Bagaimana otak bereaksi pada kesalahan adalah tergantung pola pikir anda. Apakah Anda pernah berpikir Anda bisa atau berpikir Anda tidak bisa? Itu adalah salah satu bukti perbedaan manusia dalam berpikir. Sebuah penelitian baru dari Henry Ford dan akan diterbitkan dalam edisi mendatang di Psychological Science, sebuah jurnal Asosiasi untuk Psychological Science dikutip dari Science Daily, menemukan bahwa orang yang berpikir mereka bisa belajar dari kesalahan, memiliki reaksi otak yang berbeda dibandingkan orang yang berpikir bahwa inteligensi itu bersifat tetap.

Jason S. Moser, dari Michigan State University, yang berkolaborasi pada studi baru dengan Hans S. Schroder, Carrie Heeter, Tim P. Moran, dan Yu-Hao Lee mengatakan, salah satu perbedaan besar antara orang yang berpikir inteligensi itu bersifat fleksibel dibandingkan orang yang berpikir inteligensi itu bersifat tetap adalah bagaimana mereka menanggapi sebuah kesalahan.

Penelitian ini menemukan bahwa orang yang berpikir bahwa kecerdasan itu bersifat fleksibel cenderung untuk mengatakan “Jika saya membuat kesalahan, saya mencoba untuk belajar dan mencari tahu.” Di sisi lain, orang yang berpikir bahwa kecerdasan itu bersifat tetap, maka mereka tidak akan mengambil kesempatan untuk belajar dari kesalahan mereka.

Ini bisa menjadi masalah yang serius pada siswa dalam belajar. Ketika siswa berpikir kecerdasan adalah tetap, maka ia akan berpikir tidak perlu repot-repot berusaha lebih keras, setelah ia gagal tes.

Penelitian ini dilakukan pada sejumlah orang dan diberikan tugas. Tugas ini adalah pekerjaan dimana mereka akan mudah berbuat kesalahan. Mereka diperintahkan untuk membuat susunan surat-surat berdasarkan urutan tertentu. Saat mereka membuat kesalahan, mereka mengalaminya secara langsung dan merasa bodoh.

Ketika melakukan tugas tersebut, mereka memakai sebuah topi yang dapat mencatat aktifitas listrik di otak. Ketika seseorang membuat kesalahan, otak mereka membuat dua sinyal cepat: pertama adalah respon awal yang menunjukkan ada sesuatu yang keliru dan membiarkan, respon kedua menunjukkan bahwa orang tersebut secara sadar menyadari kesalahan dan berusaha memperbaiki. Kedua sinyal terjadi dalam seperempat detik ketika kesalahan terjadi. Setelah percobaan, para peneliti ingin mengetahui apakah orang-orang ini percaya bahwa mereka bisa belajar dari kesalahan mereka atau tidak.

Orang yang berpikir mereka bisa belajar dari kesalahan, mereka berhasil bangkit kembali setelah kesalahan terjadi. Otak mereka juga bereaksi berbeda, menghasilkan sinyal kedua yang lebih besar. Salah satu subjek mengatakan, “saya melihat bahwa saya telah membuat kesalahan, jadi saya harus lebih memperhatikan”.

Hal ini dapat membantu kita memahami mengapa dua tipe orang dengan pemikiran di atas, menunjukkan perilaku berbeda setelah mereka berbuat kesalahan. Orang yang berpikir mereka bisa belajar dari kesalahan, memiliki otak yang diatur untuk lebih memperhatikan kesalahan, bahwa kecerdasan itu bersifat fleksibel dan terus berkembang. Penelitian ini bisa membantu dalam melatih orang untuk percaya bahwa mereka dapat bekerja lebih keras dan belajar lebih banyak. Penelitian ini menunjukkannya dengan bagaimana otak memiliki reaksi berbeda terhadap kesalahan.

Merasa Sulit, Itu Biasa ...

Perancis, Siswa dapat melakukan segala sesuatu lebih baik dan lebih percaya diri di sekolah, bila mereka diberitahu bahwa kesulitan adalah sesuatu yang lumrah dari proses belajar. Sebaliknya, bukan semakin menekan anak untuk berhasil dan mendapatkan nilai bagus.

Pernyataan tersebut merupakan hasil penelitian baru yang diterbitkan pada 5 July kemarin oleh American Psychological Association dalam Journal of Experimental Psychology: General, oleh Frederique Autin, PhD.

“Terlalu terobsesi dengan kesuksesan, siswa akan takut gagal, mereka enggan mengambil langkah-langkah sulit untuk menguasai materi baru. Mengakui bahwa kesulitan adalah bagian dari belajar, bisa menghentikan lingkaran setan,” kata Frederique Autin, PhD, seorang peneliti di University of Poitiers, Perancis.

Kesulitan banyak dipandang sebagai momok oleh kebanyakan siswa, apalagi bila mereka dituntut untuk berhasil. Pemahaman ini justru menciptakan rasa ketidakmampuan diri ketika dihadapkan dengan kesulitan, yang pada gilirannya mengganggu proses belajar.

“Penelitian ini dapat mencerahkan bagi guru, orang tua dan siswa. Orang biasanya percaya bahwa prestasi akademik hanya mencerminkan kemampuan akademik siswa, tapi guru dan orang tua mungkin dapat membantu siswa berhasil hanya dengan mengubah cara pandang mereka,” kata Jean-Claude Croizet, PhD, seorang Profesor Psikologi di University of Poitiers yang mengawasi penelitian ini.

Seperti halnya menaiki sepeda, anak akan terus mencoba untuk bisa bersepeda, karena mereka tahu, jatuh saat bersepeda merupakan hal yang biasa dalam proses bisa bersepeda. Perlakuan yang sama perlu diterapkan dalam proses belajar di lingkungan akademik.

Ekperimen yang dilakukan oleh Autin menyebutkan, siswa yang diberitahu bahwa kesulitan dan kegagalan adalah hal biasa, secara signifikan lebih baik dalam mengerjakan tes dan aktif berdiskusi bersama peneliti, dibandingkan dengan kelompok siswa lain yang tidak memahami hal itu.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan anak meningkat hanya dengan meningkatkan rasa percaya diri dan mengurangi ketakutan siswa terhadap kegagalan.

“Para guru dan orang tua harus menekankan proses kemajuan anak dari pada fokus pada nilai dan skor tes. Belajar membutuhkan waktu dan setiap langkah dalam proses tersebut harus dihargai, terutama pada tahap awal belajar, ketika kemungkinan besar mereka akan mengalami kegagalan,” tutup Autin.

Stres Rentan Bagi Perkembangan Otak Remaja ...

New York, Stres kadang ditemui pada kebanyakan remaja. Stres yang mereka alami masih terkait dengan proses tumbuh menjadi dewasa. Namun, stres yang masuk dalam kategori kronis dapat berbahaya bagi perkembangan otak remaja.

Studi baru yang diterbitkan dalam edisi Neuron bulan ini, dilakukan oleh Zhen Yan, PhD, Profesor di Department of Physiology and Biophysics, UB School of Medicine and Biomedical Sciences.

“Kami telah mengidentifikasi hubungan sebab akibat antara molekul dan perilaku yang terlibat dalam respons stres,” ungkap Yan, dikutip dari MNT.

Masa remaja adalah saat otak sangat rentan terhadap stres. Korteks prefrontal belum sepenuhnya berkembang sampai usia 25 tahun, dan mengalami perubahan dramatis selama tahun-tahun remaja. Korteks prefrontal itu seperti sebuah pusat kontrol yang mengendalikan memori, pengambilan keputusan dan atensi.

Bila stres terjadi berulang-ulang maka akan menyebabkan penurunan pada ketiga kemampuan tersebut. Oleh sebab itu, penting bagi remaja mencaritahu hal-hal apa saja yang bisa dilakukannya untuk mengurangi stres, sehingga mencegah terjadinya stres kronis dan membantu melindungi otaknya.

Disfungsi pada korteks prefrontal juga diketahui terlibat dalam stres, terutama yang berhubungan dengan penyakit mental. Hal ini diketahui setelah berhasil mengidentifikasi bagaimana stres mempengaruhi penyakit mental lainnya.

“Karena disfungsi pada korteks prefrontal disebabkan oleh stres, maka penyakit mental yang berhubungan dengan stres akan lebih mudah diungkap dengan memahami korteks prefrontal,” ujar Yan.

Berdasarkan penelitian ini, Yan dan tim bisa mulai menargetkan cara yang lebih spesifik dan efektif dalam mengembangkan obat yang lebih baik untuk penyakit mental serius.