Sebuah sore,
dengan aku, dia dan desir angin yang mulai menepi...
masih terlalu sepi untuk sebuah perjamuan dan
pesta pora menyambut musim yang akan tiba...
Aku dan dia,
masih termenung, menatap bentangan hari menuju senjanya...
Aku dan dia, menikmati sepi,
bermonolog dalam diam...
Namun aku dan dia datang,
pada tempat orang-orang melihat dan berkata,
tentang aku dan dia...
Pada sore ini,
aku dan dia menanti sebuah hujan,
yang mengantar hari pada sebuah senjanya...
aku dan dia, datang ke tempat ini dengan senyum dan kerinduan,
pada gemuruh hujan dan kilatan petir,
pada derak-derak prahara yang mengigilkan tubuh,
dan dinginnya air yang membasahi aku dan dia
adalah daya hidup yang akan terpeluk erat,
pada bara kecintaan antara aku dan dia...
Aku dan dia,
datang di sore ini bukan sebagai sajak yang merindukan,
penyairnya, bukan pula sebagai deru ombak yang menanti sebongkah bukit karang...
Aku dan dia datang sebagai seekor rajawali yang terbang sendiri,
di atas langit tinggi...
Sebagai jiwa yang bebas dan mencintai prahara,
seperti hujan yang membawa gemuruh dan deru kilatan petir...
Dan seperti itulah aku dan dia merindukan sebuah cinta,
merindukan sebentuk kebebaan dari sebuah sudut hidup terasa besar...
Aku dan dia merindukan gemuruh hujan yang gelap,
menyambutnya dengan kaki-kaki yang telanjang,
membuang pelita dan meninggalkan tempat yang terang ini...
Kini,
dalam temaram lembayung senja kemerahan,
dia berkata padaku “biarkan hujan itu menanti”
menanti mereka yang merindukan kebebasan,
lewat bendera-bendera cinta yang mereka kibarkan,
Dan kepada mereka yang terasing dan mencintai hidup,
karena, mereka menolak untuk tunduk pada cinta yang mapan dan menindas...
Biarkanlah hujan itu menanti,
musim yang akan tiba, dan kepak sayap kupu-kupu,
kuning musim semi yang terbang bersama kecintaanya...